Latest Posts

New Blogger Themes

Minggu, 16 Desember 2012


Di dalam usaha memahami karakteristik dari filsafat timur, akan sangat membantu jika kita pertama-tama membedakan antara “budaya timur” dan “filsafat timur.” Memang lahirnya filsafat timur pasti berasal budaya timur, yaitu modus berpengetahuan dan berperilaku yang ditanamkan secara turun temurun pada masyarakat timur, tetapi filsafat timur, sebagaimana apa yang selalu
dilakukan oleh filsafat, tidaklah menerima begitu saja apa yang disodorkan secara tradisional. Ia melakukan kritisisme dan sistematisasi atas tradisi tersebut.
Oleh karena itu, saya lihat ketika To Thi Anh menerangkan bahwa “timur” itu lebih menekankan intuisi atau “hati” daripada rasio, maka keterangan itu hanya mungkin berlaku bagi budaya timur, tetapi bukan filsafat timur. Filsafat selalu merupakan aktivitas rasional, di mana maksud “rasional” di sini adalah ia memberikan pengetahuan yang terbuka untuk dikritik dan diperdebatkan. Kita tidak akan bisa berdebat tentang suatu pengetahuan yang intuitif, sebab kebenarannya sudah dijamin secara penuh oleh intuisi masing-masing pihak.
Kalau begitu, pemahaman yang baik akan filsafat timur hanya bisa dilakukan dengan berpijak pada bentuk-bentuk pengetahuan yang sistematis dan rasional yang dihasilkan oleh masyarakat timur. Hinduisme dan buddhisme merupakan dua contoh dari bentuk pengetahuan semacam itu. Dengan menelaah kedua-duanya, kita dapat meraba-raba apa yang sesungguhnya menjadi ciri khas dari filsafat timur, kalaupun memang ada.
Baik hinduisme maupun buddhisme sama-sama memusatkan perhatiannya pada kebahagiaan sejati manusia; kebebasan yang final dari segala bentuk penderitaan. Kondisi kebebasan itu dalam hinduisme dinamakan moksha, sedangkan dalam buddhisme disebut nirwana.  Kebenaran (truth) selalu dikejar untuk melayani tujuan pembebasan tersebut. Dapat dikatakan bahwa orientasi utama dari kedua aliran filsafat itu bersifat praktis.  Distingsi tegas antara pure reason dan practical reason, yang lazim ditemukan dalam sejarah filsafat barat, tidaklah berlaku baik bagi hinduisme maupun buddhisme.
Yang membedakan kedua aliran filsafat itu adalah perihal cara untuk mencapai tujuan tersebut. Yang dimaksud dengan “cara” di sini juga melingkupi pandangan ontologis tentang realitas yang kita hidupi. Hinduisme berangkat dari pandangan akan dualisme antara roh dan materi, di mana diyakini bahwa roh itu lebih tinggi derajatnya daripada materi. Manusia, menurut Hinduisme, sejatinya adalah roh yang terperangkap dalam ‘penjara’ tubuhnya. Poin ini diungkapkan dengan gamblang dalam teks Bhagavad Gita berikut ini, “the wise do not mourn men, for men do not die; they but interchange one life for another…The embodied soul is eternally unslayable/In the body of every one. ” Kebahagiaan sejati (moksha) hanya akan tercapai ketika roh kita tidak lagi terperangkap oleh kekangan tubuh kita.
Cara pandang semacam itu saya kira sudah tidak asing bagi kita semua. Plato dahulu juga pernah mengemukakan dualisme yang hierarkis itu (hierarkis karena roh diposisikan superior daripada materi), di mana gagasan Plato itu memiliki pengaruh yang sangat besar bagi sistem kepercayaan masyarakat barat, sebagaimana tampak jelas pada kristianitas dan islam. Akan tetapi, yang membuat hinduisme unik adalah bahwa, bagi hinduisme, kebahagiaan yang sejati itu (moksha) dapat dicapai tanpa seseorang secara sadar mengetahui atau memahami dualisme tersebut. Inilah yang menjelaskan mengapa hinduisme mengakui adanya tiga jalan untuk mencapai moksha, di mana jalan “pengetahuan” (jnana) hanyalah salah satu jalan; bukan satu-satunya jalan. Dua jalan yang lain adalah melalui “pengabdian” (bhakti) dan “disiplin tindakan” (karma). 
Pada buddhisme, dualisme semacam itu tidaklah diakui. Penolakan buddhisme ini berbeda dari penolakan kaum materialis yang bekerja dengan membalikkan hierarki pada dualisme itu (materi jadi lebih tinggi daripada roh), sebab buddhisme menolak total adanya dualisme itu. Kalau hinduisme percaya bahwa keselamatan itu menuntut kita untuk terus menerus “menyucikan” diri dari “godaan” tubuh, maka buddhisme sama sekali tidak melihat adanya kegunaan dari usaha semacam itu. Kontras antara ontologi yang dipegang oleh hinduisme dan buddhisme sebenarnya dapat merujuk pada perbedaan pendapat antara Hui-neng dan Shen-hsiu ketika diminta oleh guru mereka, Hung-jen, yang merupakan pionir kelima dari aliran cha’n buddhisme di Cina, untuk mendemonstrasikan pemahaman mereka tentang buddhisme di dalam sebuah sajak.
Shen-hsiu berpendapat seperti ini:
  “This body is the Bodhi-tree,
    The soul is like a mirror bright;
    Take heed to keep it always clean,
    And let not dust collect on it.”
 Bandingkan dengan pendapat Hui-neng ini:
  “The Bodhi is not like the tree,
    The mirror bright is nowhere shining;
    As there is nothing from the first,
    Where can the dust itself collect? ”
Tak heran jika akhirnya Hung-jen memutuskan bahwa pendapat Hui-nenglah yang mencerminkan pemahaman yang benar tentang intisari buddhisme. Pada kata-kata Shen-hsiu di atas tampak jelas adanya pengaruh dualisme antara roh dan tubuh, di mana roh harus terus-menerus “dijaga.” Sedangkan, Hui-neng menunjukkan bahwa roh dan tubuh itu hanyalah konstruksi pikiran kita, di mana kita sesungguhnya tidak punya dasar untuk percaya bahwa hal-hal itu memang sungguh ada.
Kalau bukan dari godaan atau tipuan jasmani, maka dari manakah penderitaan kita berasal? Jawaban buddhisme sangat sederhana, yaitu kemelekatan/keterikatan (attachment). Terhadap apa? Jawabannya adalah apa saja. Bahkan, termasuk kemelekatan terhadap kata-kata dari seorang buddha seperti buddha Gautama, jika mau ditarik konsekuensinya secara ekstrem. Pada titik ekstrem inilah kalangan buddhis mengalami perpecahan. Ada yang percaya bahwa pada Gautama buddhisme sudah diterangkan secara utuh, sehingga kita tinggal mengikutinya saja. Orang-orang yang percaya akan hal ini lazim disebut kaum theravada atau hinayana.
Sedangkan, ada pula kaum mahayana yang melihat bahwa semangat utama dari ajaran Gautama justru adalah bahwa buddhisme itu tidak pernah bisa diterangkan secara final. Masing-masing dari kita harus “menyelami” sendiri kebenarannya. Dengan kata lain, tidak ada ajaran yang tinggal kita ikuti saja. Sikap semacam ini justru mencerminkan suatu kemelekatan. Oleh karena itu, tidak heran muncul ungkapan paradoksal seperti “jika anda bertemu dengan seorang buddha di tengah jalan, maka bunuhlah dia!”.
Ketika kemelekatan itu sungguh-sungguh berhasil diatasi, maka itulah yang dimaksud dengan nirwana, atau dalam bahasa Jepang biasa disebut satori. Ketika situasi itu berhasil dicapai, apa yang berubah pada persepsi kita terhadap realitas di sekitar kita? Jawabannya sangat sederhana, yaitu suchness; bahwa kita akan bisa menerima segala sesuatu apa adanya. Tanpa berusaha menolak dan tanpa berusaha mempertahankan. Poinn ini diillustrasikan dengan sangat indah oleh seorang pelaku Zen bernama Ch’ing-yuan Wei-shin dalam kata-katanya berikut ini, “before a man studies Zen, to him mountains are mountains and waters are waters; after he gets an insight into the truth of Zen through instruction of a good master, mountains to him are not mountains and waters are not waters; but after this when he really attains to the abode of rest, mountains are once more mountains and waters are waters. ”
Mengacu pada konteks Indonesia, sangat menarik untuk diperhatikan bahwa perbedaan konseptual yang begitu tegas antara hinduisme dan buddhisme di atas justru tidak kelihatan jelas pada perkembangan kedua ide itu di tanah air. Buddhisme disodorkan dalam bentuk yang sulit dibedakan dari hinduisme. Penjelasan atas fenomena ini dapat diberikan dengan merujuk pada konsep osmosis dari Dennis Lombart, di mana karena hinduisme-lah yang masuk terlebih dulu, maka buddhisme yang masuk belakangan haruslah bertransformasi menyerupai hinduisme supaya dapat diserap oleh masyarakat kita. Oleh karena itu, tak heran jika buddhisme yang kita temui hari ini di Indonesia tidak lagi punya perbedaan yang signifikan secara konseptual dari hinduisme.
Hanya saja, saya juga mencurigai adanya kemungkinan bahwa hal itu bukanlah produk dari proses kulturasi yang “alamiah” (tanpa kekerasan), melainkan sebagai hasil dari politik monokulturalis yang menguasai bangsa ini semenjak kemerdekaannya, di mana segala sistem kepercayaan baru bisa dihargai dan diapresiasi sebagai sistem kepercayaan kalau ada rekognisi atas “roh” atau “spirit;” kalau ada konsep akan “dunia lain” yang akan kita hidupi pasca kematian. Memang ini adalah kecurigaan yang masih perlu diuji dengan penelusuran historis yang ketat dan mendetail. Namun, karena setahu saya belum ada pengujian yang mampu membuktikan kecurigaan itu keliru secara konklusif, maka kecurigaan itu tetap sah dan penting untuk diajukan sebagai sebuah kemungkinan.

sumber
http://iriwij.wordpress.com/2010/09/06/hinduisme-dan-buddhisme-dua-warisan-filosofis-dari-india/
| Tidak ada komentar

Om Swastiastu
Saya mengatakan Agama Hindu adalah “AGAMA BUMI”  bukan dengan pengertian sebagaimana disampaikan oleh berbagai tulisan umat lain terhadap Agama Hindu. Agama Hindu adalah “AGAMA BUMI” karena menurut saya, Agama Hindu memberikan banyak penjelasan tentang hidup dan kehidupan, tentang alam semesta, tentang jiwa, tentang sosial, tentang berbagai hal tanpa mendasarkan pada pengertian dari satu golongan. Belum pernah saya membaca bahwa beragama Hindu harus seperti di India, dan kenyataannya beragama Hindu di dunia ini terdiri dari berbagai macam jalan dan bentuk tanpa menyatakan jalan atau bentuk dari satu golongan adalah paling baik. Yang menentukan adalah kualitas dari pelaksana jalan itu.  Hal ini menunjukkan Agama Hindu bisa diterima oleh siapa saja. Ini salah satu contoh bahwa agama Hindu adalah
“AGAMA BUMI”.


    “Hrisikesh Uttaranacal India, kota kecil yang terletak di muara atas bagian dari sungai suci Gangga, merupakan tempat yang sangat damai. Di sana terdapat beberapa sekolah Yoga dan meditasi, seseorang akan mudah menemukan Paseraman di sana”.
Satu hal lagi bahwa Agama Hindu mengajarkan bahwa manusia bukan mahkluk yang paling sempurna dan alam bukan diciptakan untuk kepentingan manusia saja. Hal tersebut membuat kita sebagai manusia harus bisa menghargai alam sehingga jika kita lihat upacara umat Hindu dari suku tertentu nampak ada canang/banten yang diletakkan di pinggir sumber air, pinggir hutan, dan lain-lain. Pelaksanaan tersebut sebagai wujud umat Hindu menghargai alam, bukan menyembahnya. itulah mengapa Agama Hindu bisa mem-BUMI karena menempatkan ajaran agama dan pelaksanannya (manusia) tidak dalam posisi paling atas, apalagi di atas umat lain tapi merupakan bagian dari perputaran alam, sehingga kita sebagai umat Hindu diingatkan untuk tidak pongah/sombong, tapi selalui mem-BUMI. Tapi mengapa Agama Hindu, khususnya di Indonesia kelihatannya mudah didesak oleh umat lain? Kesadaran beragama Hindu yang mungkin perlu dikembangkan.
Bahwa Agama Hindu memang tidak sama dengan agama lain, jadi tidak perlu dipaksakan mencari persamaan, seperti harus ada nabi, harus ada kewajiban bersembahyang sekian kali, harus mempunyai pakaian ibadah tertentu, dan lain-lain. Bahwa Agama Hindu punya cara tersendiri dalam beribadah, bahwa Agama Hindu punya banyak penjelasan tentang berbagai pertanyaan dalam kehidupan. Bahwa Agama Hindu tidak menyandarkan jawaban pada satu jawaban yaitu “Itu sudah ditentukan Tuhan jadi harus diikuti tanpa pertanyaan lagi”. Agama Hindu mengajak kita untuk selalu berpikir kritis dan bahwa semua ada penjelasan.
Om Santhi Santhi Santhi Om



  “Pura Besakih Bali Indonesia, Pura yang berumur 1500 tahun ini sudah melewati masa-masa pergantian pemerintahan di Bali. Pemerintahan dan masyarakat mayoritas Hindu di Bali tetap melestarikan. Hal ini tidak akan terjadi bila di Bali tidak lagi mayoritas Hindu, seperti halnya Pura-pura sisa Majapahit di Jawa yang hancur lebur luluh lantak akibat pemerintahan dan masyarakat tak lagi mayoritas Hindu. Pada peristiwa meletusnya Gunung Agung, tak satupun lahar melewati Pura ini, padahal posisi Pura tepat berada di kaki gunung.”
Om Swastiastu
Hindu adalah “Agama Bumi?
Saya setuju dengan pendapat di atas, namun permasalahannya bagi umat yang masih terbatas pengetahuan agamanya ini berpotensi membuat “rasa malu” mengakui Hindu sebagai agamanya. Saya sendiri tidak terlalu pusing dengan sebutan Hindu agama bumi (agama Ardhi) karena pada kenyataannya Hindu adalah agama yang pertama HIDUP di muka bumi lantas bagaimana mungkin pihak lain bisa mengatakan agama kita adalah agama Bumi? bisakah dikatakan agama Samawi memang “jatuh” dari langit? atau hanya sekadar klaim kitab suci mereka bahwa tokoh mereka mengatakan demikian? Saya sependapat bahwa adalah tugas besar menanti kita untuk tidak saja mengajarkan agama tetapi menumbuhkan kesadaran beragama atas dasar cinta kasih terhadap mahluk hidup dan alam. Bukan DOGMA atau pembenaran serta penghakiman atas keyakinan lain. Keimanan hanya menerima klaim kitab apa adanya tetapi keyakinan yang sesungguhnya adalah bagaimana kesadaran cinta kasih muncul dalam diri lewat tuntunan agama Hindu (Tattwa) sebagai bekal menelusuri lapangan Karma.
Om Santhi Santhi Santhi Om
Agama Hindu adalah “AGAMA BUMI?”
Atma Namaste, Om Swastiastu, Sebagai ajaran spiritual yang paling tua, ajaran Hindu selalu dapat beradaptasi di mana-mana, tanpa merubah kultur dan budaya masyarakat setempat. Contohnya Hindu di India, Hindu di Kalimantan, Hindu di Jawa, Hindu di Bali, Hindu di Tanah Karo, Hindu di Peru…. Ajaran Hindu yang ramah lingkungan ini menyatu dengan kehidupan dan kebiasaan para penganutnya. Agar lebih leluasa dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari, dan sangat sulit untuk dipisahkan. Agama Hindu yang mem-BUMI ini, mengajarkan tentang hidup sederhana, cara bersyukur dan berterimakasih kepada TUHAN dan juga kepada ALAM sebagai tempat bernaung. Terimakasih.
Om Santhi Santhi Santhi Om
Semoga damai di dunia, damai di hati, dan damai selalu

Sumber : www.cyberdharma.net
| Tidak ada komentar


     
   Sebuah pohon beringin yang dikeramatkan di Kurukshetra, yang dianggap sebagai saksi bisu saat SriKresna menurunkan sloka-sloka suci dalam kitab Bhagawadgita, sesaat sebelum perang berlangsung.

Bhagawadgita (Sanskertaभगवद् गीताBhagavad-gītā) adalah sebuah bagian dari Mahabharata yang termasyhur, dalam bentuk dialog yang dituangkan dalam bentuk syair. Dalam
dialog ini, Kresna, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa adalah pembicara utama yang menguraikan ajaran-ajaran filsafat vedanta, sedangkanArjuna, murid langsung Sri Kresna yang menjadi pendengarnya. Secaraharfiah, arti Bhagavad-gita adalah "Nyanyian Sri Bhagawan (Bhaga = kehebatan sempurna, van = memiliki, Bhagavan = Yang memiliki kehebatan sempurna, ketampanan sempurna, kekayaan yang tak terbatas, kemasyuran yang abadi, kekuatan yang tak terbatas, kecerdasan yang tak terbatas, dan ketidakterikatan yang sempurna, yang dimiliki sekaligus secara bersamaan).
Syair ini merupakan interpolasi atau sisipan yang dimasukkan kepada "Bhismaparwa". Adegan ini terjadi pada permulaan Baratayuda, atauperang di Kurukshetra. Saat itu Arjuna berdiri di tengah-tengah medan perang Kurukshetra di antara pasukan Korawa dan Pandawa. Arjuna bimbang dan ragu-ragu berperang karena yang akan dilawannya adalah sanak saudara, teman-teman dan guru-gurunya. Lalu Arjuna diberikan pengetahuan sejati mengenai rahasia kehidupan (spiritual) yaituBhagawadgita oleh Kresna yang berlaku sebagai sais Arjuna pada saat itu.


Kurukshetra, sebuah daratan suci bagi umat Hindu diHaryana (India). Konon di tempat inilah perang Baratayuda berlangsung dan sloka-sloka dalam kitabBhagawadgita diturunkan

sumber:
http://yasantai.blogspot.com/2012/11/kumpulan-gambar-kerajaan-hindu.html#more
| Tidak ada komentar

Pada zaman kuno India disebut oleh penduduknya dengan sebutan Jambudwipa (benua pohon jambu), ada juga yag menyebutnya Bharatwarsa (tanah keturunan Bharata). Nama India sendiri diambil dari nama sungai Sindbu (sungai yang mengairi daerah barat India). Bangsa Persia menyebut nama sungai itu Sungai Hindu. Kemudian nama itu diambil alih oleh orang Yunani yang menjadikan nama itu terkenal di dunia Barat. Pada akhirnya nama itu diambil alih oleh pemerintah India sekarang ini. Jadi, penamaan agama ini memiliki kaitan erat dengan nama sungai Sindbu/Hindu/Indus yang juga terkenal dengan sebutan peradaban Sungai Indus.
          Ada yang mengatakan India adalah negeri yang serba ganda. Ganda suku bangsa, budaya, kepercayaan dan agama. Jadi karena keserbagandaan ini dalahttp://sejarah.kompasiana.com/2011/06/14/sejarah-agama-hindu/m mempelajari agama Hindu ini rasanya agak sulit sekali. Dan sebagai penulis saya akan mencoba dengan berhati-hati dalam menelusuri dan mengintip sejarah agama Hindu.
          Agama Hindu berkembang sejak 1500 SM, bersamaan dengan masuknya bangsa Arya ke India Utara yang mula-mula menduduki daerah sungai Indus, seiring dengan berjalannya waktu kemudian mereka bercampur dengan penduduk asli India yaitu bangsa Dravida. Bangsa Dravida tersebar diseluruh India. Agama Hindu timbul dari dua arus utama yang membentuknya, yaitu agama bangsa Dravida dan agama bangsa Arya. Kedua bangsa ini memiliki peradaban. Oleh karena itu saya akan menuliskannya lebih rinci sebagai berikut:
a.    Peradaban Dravida
Dari penggalian tanah Mohenjo-daro dan Harappa dapat diketahui bahwa bangsa Dravida adalah bangsa yang sudah memiliki peradaban yang tinggi. Penggalian taah itu menunjukkan bahwa:
1.     Sebelum datangnya bangsa Arya ke India, bangsa Dravida sudah memiliki kota-kota besar yang dibangun sesuai rencana dengan jalan-jalan besar yang membujur dari utara ke selatan, untuk memperlancar lalu lintas dari utara ke selatan.
2.    Mereka sudah bisa membuat kapal-kapal yang digunakan untuk berdagang dengan bangsa-bangsa lain.
3.    Mereka sudah mengenal dunia beercocok tanam dan mereka hidup dari pertanian dengan cinta damai.
4.    Masyarakatnya bersifat matriarkat dan tidak mengenal kasta-kasta.
5.    Agamanya, mereka memuja seorang dewi tertinggi yang dinggap sebagai ibu-alam. Selain itu mereka juga memuja binatang-binatang, seperti: ular, lembu, dll.
b.    Peradaban Arya
Bangsa Arya India seketurunan dengan bangsa Persia, Yunani, Rum, dan Jerman. Pada tahun 2000 SM bangsa ini memasuki India, dan pada tahun 1500 SM menduduki Punjab (daerah lima sungai), mereka mendapatkan perlawanan dari bangsa Dravida yang mereka namakan sebagai Anasa (tidak berhidung/ pesek), Vanara (monyet) atau Dasyu (budak) yang menempati pur/ benteng. Kemudian bangsa Arya menaklukkan Doab (daerah dua sungai) yaitu Gangga dan Yamuna.
Dibandingkan dengan bangsa Dravida, bangsa Arya belum dapat dikatakan tinggi peradabannya. Bangsa Arya adalah bangsa peternak. Setelah mereka menetap di India, mereka belajar bercocok tanam dari bangsa Dravida sehingga lambat laun mereka menjadi petani. Mereka juga adalah bangsa yang pandai berperang. Hal ini disebabkan karena kehidupan mereka yang suka mengembara.
Perkembangan Agama Hindu di India
       Dari kitab-kitab suci Weda mereka, dapat diketahui perkembangan agama Hindu menurut corak dan pandangan hidupnya, yang dibedakan menjadi beberapa zaman, yaitu: zaman Weda, Brahmana, Upanishad, dan Tantrayana.
A.   Zaman Weda
Zaman ini dimulai sejak masuknya bangsa Arya kira-kira 5000 tahun yang lalu, didaerah hulu sungai Sindhu yang terkenal dengan nama Punjab (lima sungai). Mula-mula mereka adalah bangsa pengembara. Dari tempat terakhir mereka di Asia Tengah, sebagian dari mereka masuk dan menetap di dataran tinggi Iran, dan sebagian lagi di Punjab. Pada zaman ini sepanjang lembah sungai Indus sudah terdapat peradaban tinggi bangsa Dravida yang berpusat di kota-kota yang diperkuat dengan benteng antara lain Mohenjo-daro dan Harappa.
          Seperti yang telah saya jelaskan diatas sebelumnya, kedatangan bangsa Arya ke India datangnya secara bergelombang, dimana setelah daerah Punjab sudah tidak mencukupi, mereka mulai menyebar ke arah tenggara, memasuki daerah lembah sungai Gangga dan Yamuna yang disebut Doab (daerah dua sungai). Di daerah Doab mereka mulai bercampur dengan penduduk asli sehingga muncullah kebudayaan Hindu.
          Pada zaman ini, manusia menyembah Brahman, Sang Hyang Widhi, dalam manifestasinya sebagai Dewa-dewa, untuk memohon anugerah keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan. Menurut mereka, pemujaan terhadap Dewa-dewa sebagai manifestasi Brahman itu dilakukan bukan karena rasa takut, tetapi benar-benar karena rasa hormat dan bhakti yang setulus-tulusnya.
B.    Zaman Brahmana
          Zaman ini berada Kira-kira tahun 1000 SM-750 SM. Pada zaman ini para imam (Brahmana) sangat berkuasa dan membuat kitab-kitab yang berlainan sekali sifatnya dibandingkan dengan kitab Weda Samhita. Pada zaman ini penyesuaian diri dengan peradaban India kuno sudah lebih maju, sehingga timbul jiwa baru.
          Brahmana adalah kitab suci yang menguraikan masalah yajna (sesaji)  dan upacara-upacaranya, yang meliputi arti sesaji serta tenaga gaib apa yang tersimpul dalam upacaranya dan sebagainya. Jadi, pada zaman ini, keagamaan berpusat kepada yajna (sesajian) dan upacara-upacaranya.
C.    Zaman Upanishad
          Kira-kira tahun 750 SM-500 SM. Kata Upanishad berarti duduk dibawah dekat guru, untuk mendengarkan Upaseda (ajaran) mengenai Brahman, samsara, swarga-neraka dan moksa. Upadesa dari sang guru mengandung ajaran-ajaran yang bersifat ilmiah, dan karena itu Upanishad merupakan ilmu pengetahuan suci (jnana) yang dapat membuka mata hati pembacanya dalam membuka misteri kehidupan alam semesta ini. Pada zaman ini pemikiran secara falsafah mulai berkembang. Pusat peradaban berpindah dari Punjab ke Lembah Gangga.
          Kegiata keagamaan pada zaman ini lebih ditekankan kepada ajaran filsafat tentang Brahman dan segala ciptaan-Nya.
D.   Zaman Tantrayana
          Tantrayana mulai tumbuh dan berkembang bersamaan dengan purana kira-kira 600 SM, walaupun akar Tantrisme itu sendiri sudah terdapat didalam kitab Rigweda. Dalam Tantrayana aspek yang paling dominan adalah konsep theologinya yang melihat dari segi peranan Sakti. Manusia mendambakan kesaktian yang ada pada Sang Hyang Widhi dan berharap supaya kesaktian-Nya itu diberikan kepada manusia sehingga dengan demikian dapat memiliki apa yang ada pada Brahman itu.
          Dalam sejarah agama Hindu, Tantrayana sebagai salah satu sekte agama Hindu, menempati kedudukan yang amat penting, terutama jika dihubungkan dengan pembagian masa alam semesta, yaitu Yuga, yang masa sekarag ini termasuk Kali Yuga.
          Tantrayana berorientasi kepada Siwa dan karena itu sekte ini dikenal pula sebagai sekte Siwa.
| Tidak ada komentar

Sad Darsana (Filsafat Samkya )
Makalah disusun untuk memenuhi syarat mata kuliah Hinduisme






Disusun Oleh :
Arif Hidayat
111103210044




Jurusan Perbandingan Agama
Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2012




1.             Pendahuluan

Dewasa ini agama Hindu telah menjadi agama besar dunia yang tidak hanya menghasilkan seorang Dayananda dan Tilak tetapi juga seorang Gandhi dan Sarvepalli Radhakrishnan, seorang Aurobindo Ghose dan Krishnamurti, warga dunia yang sesungguhnya dan nabi-nabi bagi sebuah agama universal. Apa yang telah terjadi atas agama Hindu ini tidak terlepas dari ajaran agamanya juga tentang ke filsafatannya yaitu filsafat India.
Dalam konteks keilmuan bahasa Sanskerta filsafat India ini dikenal dengan  istilah Sad Darshana yang merupakan suatu pandangan yang benar terhadap apa yang harus dilakukan oleh seseorang baik moral maupun material untuk mencapai kebenaran dan kebahagiaan yang tertinggi dan abadi (moksa).[1]
Kata Darshanasendiri berarti “Melihat”, “pengelihatan” atau “pandangan” Dalam ajaran Filsafat Hindhu darshana berarti “Pandangan tentang Kebenaran”
Sad darshana berarti enam pandangan tentang kebenaran yang mana merupakan dasar dari filsafat Hindu.Adapun pokok pokok ajaran Sad darshana antara lain:
1.SAMKHYA                                                     
2.YOGA.                                    
3.MIMASA,
4.NYAYA,
5.WAISISEKA,dan
6.WEDANTA.[2]
Namun dalam makalah ini kami hanya mencantumkan pengertian dari filsafat sankhya saja karena pembahasan mengenai filsafat lainnya akan dibahas dalam pembahasan lain.
Adapun pengertian dari kata Sankya berarti ”Pemantulan”, yaitu pemantulan falsafati. Oleh karenaitu aliran ini mengemukakan bahwa orang dapat merealisasikan kenyataan terakhir dari filsafat ini dengan pengetahuan.
Pembangun konsep dari filsafat ini adalah Rsi Kapila yang diperkirakan hidup pada zaman sebelum Buddha.Sistem filsafat Samkhya kadangkala dinamakan pula dengan istilah Nir Iswara Samkhya tidak menyebut nama Tuhan. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh Kapila adalah karenaTuhan itu sulit untuk dibuktikan. Inilah suatu pernyataan yang menarik untuk diperbincangkan karena Samkhya mengakui adanya Purusa (roh) sebagai asas tertinggi. Cukup banyak penulis yang menyinggung tentang Samkhya dan dapat kita nikmati sampai detik ini, salah satunya adalah Samkhya Karika yang ditulis oleh Iswarakresna.[3]

2.             Konsep Purusa dan Prakerti


Ajaran pokok dari samkhya ialah bahwa adanya dua zat asasi yang bersama-sama membentuk realitas dunia ini yaitu purusa dan prakrti, roh dan benda atau asas rohani dan asas bendani .[4]
Purusa adalah asas bendani yang kekal, yang berdiri sendiri serta tidak berubah, berbeda dengan upanishad, samkhya tdak mengakui adanya satu roh atau satu jiwa yang bersifat universal atau umum, yang kemudian dengan bermacam-macam.
Sekalipun purusa tidak dapat diamati, namun ada dengan nyata hal ini dibuktikan dengan:
1.    Susunan alam semesta Menunjukan, bahwa beradanya alam semesta alam itu tentu bukan demi kepentingan diri sendiri, melainkan demi kepentingan sesuatu yang berbeda dengan alam semesta itu sendiri. Hal ini dapat disamakan dengan tempat tidur itu sendiri, melainkan demi kepentingan orang yang akan menidurinya. Demikianlah dunia berada bukan demi kepentingan dunia sendiri, melainkan untuk kepentingan yang bukan bukan dunia, yang bukan benda yaitu roh, purusa.
2.    Segala manusia berusaha untuk mendapatkan kelepasan. Hal ini mengharuskan kita menyimpulkan, bahawa tentu ada sesuatu yang dapat mendapat kelepasan itu yang tentu bukan yang bersifat badani yaitu purusa.
3.    Tiap hal yang ada, berada secara sendiri-sendiri, artinya dilahirkan sendiri, mati sendiri, memiliki organismenya sendiri dan seterunya.yang jika disimpulkan banyak sekali individu, ada banyak sekali purusa.
Mengenai prakrti diuraikan bahwa  prakrti atau asas bendani adalah sebab pertama alam semesta, yang terdiri dari unsur-unsur kebendaan dan kejiwaan atau psikologis. Sama halnya dengan purusa, prakerti juga tidak dapat diamati, namun nyata-nyata ada. Bahwa prakerti ada dengan kesimpulan yang diambil dari pertimbangan – pertimbangan berikut:
1.    Tiap hal yang ada di dalam dunia berifat terbatas. Apa yang bersifat terbatas bergantung kepada sesuatu yang tidak terbatas, dan yang berdiri sendiri, yang menyebabkan adanya hal-hal yang terbatas itu. Adapun yang bersifat tidak terbatas ituadalah prakrti.
2.    Tiap hal memiliki sifat-sifat tertentu yang juga dimiliki oleh segala sesuatu yang lain.sifat-sifat itu umpamanya: kesenangan dan kesusahan. Hal ini menunjukan bahwa ada satu sumber bersama yang mengalirkan sifat-sifat itu. Sumber itu adalah prakrti.
3.    Segala akibat timbul dari aktifitas suatu sebab aktifitas yang menyebabkan dunia ini tentu berasal dari suatu sebab pertama.yaituprakrti.
4.    Suatu akibat tidak mungkin menjadi sebabnya sendiri. Oleh karena itu tentu ada suatu sebab asasi. Yang menyebabkan adanya segala macam akibat itu. Sebab asasi itu tidak lain adalah prakrti.
5.    Alam semesta mewujudkan suatu kesatuan . adanya suatu kesatuan mewujudkan adanya suatu sebab yang menyatukan. Yaitu prakrti.[5]
Menurut ajaran Samkhya ada tiga sumber pengetahuan yang benar (Tri Pramana). yaitu Pratyaksa (pengamatan langsung), Anumana (didasarkan atas kesimpulan), dan Sabda pramana (pernyataan). Tentang pengetahuan yangdidapat atas dasar Sabda dapat dibagi dua yaitu Laukika = kesaksian yang diberikan oleh orang yang dapat dipercaya; Waidika = kesaksian Weda.
Di dalam etika Samkhya tidak membedakan seseorang atas golongannya untuk mempelajari kitab suci Weda. Setiap orang dianjurkan untuk mengendalikan pikiran agar terjadi keseimbangan di dalam dirinya sendiri dan lingkungannya. Menurut Samkhya pribadi yang tampak bukanlah pribadi yang sebenarnya melainkan khayalan, pribadi yang sesungguhnya adalah purusa atau roh itu sendiri.
Tujuan akhir dari ajaran Samkhya adalah kelepasan. Kelepasan dapat dicapai oleh seseorang bila ia menyadari bahwa purusa tidak sama dengan alam pikiran, perasaan dan badan jasmani. Bila seseorang belum menyadari akan hal itu, maka ia tidak akan dapat mencapai kelepasan. Akibatnya ia mengalami kelahiran yang berulang – ulang (samsara/punarbhawa). Jalan untuk mencapai kelepasan adalah melalui pengetahuan yang benar, latihan kerohanian yang terus – menerus untuk merealisasikan perbedaan purusa danprakerti dan cinta kasih terhadap semua mahluk (tatwam asi). Dengan demikian Samkhya menekankan pada jalan jnana dalam wujud wiweka [6]dan kebijaksanaan untuk melepaskan purusa dari jebakan prakerti (tri guna).



















DAFTAR PUSTAKA
Intisari Sad Darshana Dan Hubungannya dengan Sistem Ilmu Percandian Dalam Dunia Arkeologi http://bayuarkeologjawa.blogspot.com/2011/11/intisari-sad-darshana-dan-hubungannya.html
Hadiwijono, Harun 1985, Sari Filsafat India, Jakarta, BPK Gunung Mulia Kwitang.
Suparta, Ardhana . Sejarah perkembangan AGAMA HINDU di Indonesia.Surabaya: Paramita, 2002



[3]     Harun, Hadiwijono,  Sari Filsafat India, Jakarta, BPK Gunung Mulia Kwitang, 1985 .h 65
[4]    Ardhana Suparta. Sejarah perkembangan AGAMA HINDU di Indonesia.Surabaya: Paramita, 2002. h. 43
[5]HarunHadiwijono,Sari Filsafat India, Jakarta, BPK Gunung Mulia Kwitang, 1985. h. 68

[6]     Wiweka adalah perilaku yang hati-hati dan penuh petimbangan artinya tidak pernah ceroboh dalam bertindak. Wiweka selalu mempergunakan akal sehat dan pikiran yang fositif, serta selalu mengutamakan perbuatan yang baik dan menghindari perbuatan yang tidak baik. Perilaku seperti ini patut diikuti dan dilaksanakan oleh umat Hindu.

| Tidak ada komentar
Sponsors : Best Themes | New WP Themes | Best Blogger Themes
Copyright © 2013. HINDUISME - All Rights Reserved
Template Design by Shihara | Published by New Blog Themes
Powered by Blogger
New Blogger Themes New Blogger Themes